Read more >>

Sabtu, 30 Juli 2016



Dear Elta,

Inilah rahasia. Kuharap engkau merasa, kuharap engkau tahu meski kusamarkan namamu.


2 Januari 2015


Karena kau adalah langit penuh bintang, kan kuberikan hatiku padamu.


Sulit bagiku untuk berpaling dari ilham yang selama ini membayangikuu. Tapi barulah kini aku percaya ilhamku telah berganti. Aku tahu kau tak begitu suka membaca karya sastra. Tapi aku tak bisa berkata-kata tanpa dia. Memang sulit mengungkapkapnya secara gamblang. Tapi bolehkah aku menyayangimu? Lebih dari sekedar perasaan sahabat terhadap sahabatnya. Aku belum ingin mengutarakannya. Karena aku khawatir pengungkapanku hanya akan membuat hubungan kita ini jadi kacau.

Aku tak tahu bagaimana seorang laki-laki bila menghadapi cinta. Aku hanya tahu bagaimana seorang perempuan bila jatuh cinta.

Lalu rindu ini menjadi candu. Jarak ini, perasaan ini, tak kupahami sebelumnya kalau sangat menyiksa dan pedih di hati.

Terakhir kudengar suaramu adalah ketika kita berpapasan di hari terakhir 

di sekolah tiga tahun yang lalu. Besoknya aku terbang ke Borneo. Hanya satu kata “Yo” itu yang masih nyaman kusimpan. Yang membuatku yakin, kalau kau betulan ada.

Suatu waktu aku ingin meneleponmu. Tapi kau menolak. Maka urung kulanjutkan. Karena aku tahu kita tak saling pandai bicara lewat lisan. Ingin menyerah rasanya. Tapi aku tak bisa. Membunuh cinta ini sama halnya membunuh diriku sendiri.


12 Mei 2015


Karena kau adalah langit penuh bintang, kau terangi jalanku.


Sampai saat ini, aku masih jatuh hati padamu. Ada saat aku menangis ketika benar-benar menginginkan Tuhan menjodohkan kita. Pasti ada tujuan kenapa kita dipertemukan dulu. Karena sebutir debu pun memiliki tujuan kenapa ia ada.


8 Juli 2015

Aku tak peduli jika kau remukkan diriku.


Apa kau juga jatuh hati padaku? Tak bisa melupakanku? Apa aku selalu hadir di mimpimu? Kenapa kau tak pernah berkata jujur? Apakah kita tak bisa lebih 
dekat lagi dari ini?

28 Februari 2016

Di langit penuh bintang, kulihat dirimu, itulah dirimu.

Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri. Selamat bertambah umur untuk perasaan yang tak pernah berubah untukmu.

Kau tahu, kadang aku ingin berteriak lantang di hadapanmu. Tapi tak bisa. Kau di Semarang dan aku di Balikpapan. Dan kita terlalu diam.


30 Juli 2016

Karena kau adalah langit penuh bintang, kuberikan hatiku untukmu.
Aku tak perduli kau hancurkan aku.

Lelah dan pedih perasaan sepihak ini,jujur sangat menyiksa. Seribu kali aku berpikir untuk berhenti, Selalu saja ada alasan yang tak kuketahui yang membuat cinta ini tetap bersemi. Kuharap engkau tahu, puluhan purnama dan riak gelombang Laut Jawa yang memisahkan kita, tak mampu membendung ini. Aku masih sayang kamu.

-----------------------------------------------------------------------------------------



Diikutkan dalam lomba Surat Cinta Secret Admirer.
Buat Cintamu Semanis Caramel Macchiato.

#secretadmirer
#caramelmacchiato

Read More




Sabtu, 16 Januari 2016

Ria Sinir dan Dara Itam

Oleh Puput Nofia

Sumber: Google IMage
Dahulu kala di daerah Landak (sekarang Kabupaten Landak, Kalimantan Barat), hiduplah sepasang suami isteri, Kaleber dan Anteber. Mereka melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ria Jambi.           

Setelah dewasa, Ria Jambi dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Ngatan Barangan yang berasal dari Gunung Sambas. Dari perkawinan mereka, terlahir lima orang anak yang diberi nama; Ria Tanu, Ria Kano, Ria Rinding, Ria Tanding, dan Ria Jane.

Suatu hari, datang seorang anak laki-laki bernama Ria Sinir ke rumah Ria Jambi. Bocah itu mengaku berasal dari Gunung Sambas. Ketika ditanya ia anak siapa, Ria Sinir menjawab bahwa ia anak Bujang Nyangko dan Ngantan Barangan. Mendengar hal itu, Ria Jambi yang bijaksana menyambut Ria Sinir dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Karena Ria Sinir juga lahir dari rahim isterinya, Ngantan Barangan. 

Setelah itu, Ria Sinir meminta izin pada ayahnya untuk berburu enggang di hutan. Ia akan menguliti burung itu untuk dijadikan obat bagi sakit yang ia derita. Ria Jambi mengizinkannya dan membekalinya dengan sebuah sumpit. Ria Sinir anak laki-laki yang pemberani. Ia masuk semakin dalam ke jantung hutan tanpa rasa takut sedikit pun. Ketika melangkah, seakan tanahlah yang menuntun jalannya. Ia tahu bumi mana yang bisa dipijak dan mana yang tidak. Sesekali ia juga bergelantung pada sulur-sulur tanaman untuk menyeberangi jurang kecil.

Ria Sinir mendengarkan dengan tajam alam di sekelilingnya. Bau tanah basah dan daun-daun busuk yang menyuburkan tanah menjadi aroma pengiring. Ia juga melihat beberapa ekor menjangan sedang makan. Langkahnya terhenti sejenak ketika seekor ular kobra melintas di depannya. Lalu, sebuah suara mengkaok membuatnya melesat ke kanan. 

Dari balik abat, ia melihat seekor burung enggang sedang bertengger rendah. Sebuah kebiasaan yang tak biasa dilakukan burung keramat itu. Ria Sinir menyiapkan sumpitnya. Ia membidik burung enggang itu. Tapi meleset. Rangkong incarannya terbang ketika seorang anak perempuan tiba-tiba datang mendekatinya. 

Ria Sinir hampir marah pada anak itu. Tapi tak jadi, karena anak perempuan itu tiba-tiba terpelesat dan jatuh ke dalam sebuah kolam kecil. Ria Sinir muncul dari semak-semak dan menolongnya. 
“Terima kasih,” ucap si Gadis Cilik sambil merapikan pakaian. 
“Apa yang kau lakukan di sini?” 
“Aku sedang membantu ayahku mencari tanaman obat.” 
“Dari mana asalmu?” 
“Tanjung Selimpat.” 
“Ssssssssttt.” Ria Sinir menyuruh anak perempuan itu diam ketika melihat burung enggang yang tadi, mendekat dan bertengger di dahan yang rendah. 

Ia membidikkan lagi sumpitnya. 
“Jangan bunuh enggangku!” seru sang Gadis.
“Itu enggangku, aku yang melihatya duluan.” Sahut Ria Sinir masih dengan pengawasan pada burung itu. 

Putri Tanjung Selimpat menghadangnya dengan berdiri di depan sumpit Ria Sinir, “Ada alasan apa kau ingin membunuh burung piaraanku?” 
Ria sinir menurunkan sumpitnya dan menatap wajah si Anak Perempuan, “Aku membutuhkannya untuk menyembuhkan penyakitku.” 
“Penyakit apa hingga kau harus memburu makhluk menawan itu?” 
“Kau tak bisa melihat sesuatu yang tak terlihat.”

Mendengar itu, Putri Tanjung Selimpat terdiam. Ia pernah mendengar ayahnya mengatakan tentang penyakit yang tak terlihat. Yang mungkin disebabkan oleh gangguan roh jahat. Karena merasa berhutang budi pada Ria Sinir, ia kemudian bersiul, lalu burung enggang itu terbang hinggap di tangannya yang membentang. Putri Tanjung Selimpat menyerahkan burung itu pada Ria Sinir, “Semoga Sang Jubata segera mengangkat penyakit itu dari tubuhmu.” 

Ria Sinir berbinar, “Terima kasih.” Ia dan Putri Tanjung Selimpat sama-sama tersenyum. 
“Aku harus pergi. Terima kasih telah menolongku tadi.” Pamitnya. 
“Ao’,” Ria Sinir mengangguk. 

Ia pun segera kembali ke rumah. Di rumah, Ria Sinir tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Putri Tanjung Selimpat yang baik hati. ***

Beberapa tahun kemudian, Putri Tanjung Selimpat yang juga ahli dalam bidang pengobatan seperti ayahnya, Patih Gumantar, membersihkan tanaman obat di sungai Landak. Tanpa ia sadari sehelai rambutnya yang panjang dan indah rontok dan hanyut. Rambut itu tersangkut pada jaring seorang pencari ikan—penduduk kerajaan Landak. Laki-laki itu terkejut karena setelah melepaskannya dari jaring, ia mendapati bahwa rambut itu bisa memenuhi sebuah bokor yang lumayan besar. 

Sang Nelayan segera melaporkan penemuannya pada Raja Pulang Pali yang saat itu memerintah Kerajaan Landak. Sang Raja penasaran. Ia semakin tertarik dengan asal usul rambut itu ketika salah seorang penasehatnya mengatakan, kalau rambut itu milik anak perempuan Patih Gumantar yang memimpin daerah Tanjung Selimpat. Apalagi, Putri Tanjung Selimpat adalah gadis berparas cantik dan senang menolong siapa saja dengan keahliannya mengobati. 

Karena terpesona, keesokan harinya, Raja Pulang Pali ingin melihat sendiri bagaimana sosok Putri Tanjung Selimpat. Lantas ia bersama seorang pengawalnya, naik sampan menyusuri sungai. Ia juga menyamar sebagai seorang yang sedang sakit agar Putri bersedia menemuinya. 

Seperti biasanya, Putri membawa tanaman obat ke sungai untuk di bersihkan. Saat sedang berjalan ke sana, tiba-tiba ada seorang lelaki yang tergesa-gesa menghampirinya, “Ada apa, Tuan?” 
“Tolonglah saudara saya yang sedang sakit. Dia ada di sampan di tepi sungai.” 

Putri Tanjung Selimpat mengangguk. Ia lantas ikut naik ke dalam sampan dan memeriksa seorang laki-laki yang duduk dengan lemah di sana. Raja Pulang Pali tak bisa mengalihkan pandangannya pada Putri Tanjung Selimpat. Gadis itu memiliki mata seperti elang, namun raut mukanya tenang. Kulitnya kuning langsat dan rambut panjangnya dipilin berhias beberapa manik-manik. Anting logam bergelantung pada sepasang daun telinganya. 
“Kenapa Tuan melihat saya seperti itu?” 
“Semoga Sang Jubata mengampuniku. Aku telah membohongi seorang bidadari yang turun dari langit, hanya demi bisa berdekatan dengannya.” 
Putri berhenti memeriksa, ia menatap mata Raja yang juga sedang menatapnya, “Apa maksud, Tuan?” 

"Suatu hari, sehelai rambut tersangkut pada jaring seorang pencari ikan Kerajaan Landak.” Bukannya menjawab, Raja Pulang Pali yang menyamar malah bercerita, “Lalu ia melaporkan pada Raja. Penasaranlah sang Raja pada pemilik helai rambut yang katanya berparas jelita dan berbudi luhur. Lalu Raja menyamar menjadi seorang yang sedang sakit agar Putri bersedia menemuinya. Dan membuktikan sendiri kalau pemilik helai rambut itu memang sangat cantik.” 

Putri tertunduk, “Saya tak keberatan mengobati sakit siapa pun. Tapi saya tidak suka cara Tuan mempermainkan saya. Selama saya memeriksa Tuan yang sebenarnya sehat bugar, waktu saya untuk menolong orang lain terbuang sia-sia.” 

Raja tersenyum kagum. “Kalau begitu, aku minta maaf atas perbuatanku. Lalu izinkan aku mengutarakan maksudku yang lain.” 

“Silahkan.” “Aku punya enam orang isteri, tapi dari kesemuanya tak ada yang memiliki kesempurnaan sepertimu. Wahai Putri Tanjung Selimpat, sudikah kau menjadi isteriku, dan akan kujadikan Ratu Permaisuri Kerajaan Landak. Betapa akan bertambah makmur rakyatku memilikimu. Kau bisa mengajarkan pada kami pengetahuanmu tentang pengobatan.” 

Putri Tanjung Selimpat mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ia sekali lagi menatap laki-laki yang barusan menipunya dan sekarang melamarnya. Pengawal Raja memerhatikan dari tempat yang agak jauh. Riak sungai yang menubruk badan sampan menimbulkan bebunyian yang harmonis. Putri menimbang tawaran sang Raja. Tapi dari sekian pikiran buruk, tetap saja pikiran baik tentang laki-laki ini jauh lebih banyak. Lagi pula, jika ia menikah denga Raja Landak, maka Tanjung Selimpat akan memiliki sekutu. Apabila suatu waktu daerahnya diserang, ia bisa mendapatkan bantuan dari Landak. 

“Mintalah izin pada Apa’ku, Wahai Raja Yang Terhormat.” 
Raja tersenyum, “Aku dan orang-orangku akan kembali besok untuk melamarmu, Putri. Ada baiknya jika kau kabarkan berita ini pada Patih Gumantar, ayahmu. Sebelum kau meninggalkan sampan ini, semoga ini cukup untuk biaya mengobati sakitku.” Raja menyerahkan beberapa butir emas seukuran buah kemiri. 

Putri tersenyum, “Biasanya orang mengganti dengan bahan makanan. Tak jarang mereka tak memberi saya apa-apa. Tapi kali ini, meskipun Tuan memberikan emas yang berkilauan, saya tak bisa menerimanya. Karena saya tidak merasa telah membantu Tuan. Saya undur diri.” 

“Ao’.” Sang Raja yang telah jatuh hati pada gadis itu, tersenyum sambil mengantar kepergiannya. Ia merasa berlega hati, setidaknya Putri Tanjung Selimpat tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan meski ia telah membohonginya. Raja kembali ke Kerajaan Landak dengan suka cita di hati.***

Sambil mendengarkan permainan sape ayahnya, Putri Tanjung Selimpat menceritakan pertemuannya dengan Raja Landak yang esok akan melamarnya. Patih Gumantar berhenti memetik sape sejenak, “Kau bersedia atau tidak?” tanyanya. 

Putri tersipu, wajahnya memerah, “Meski Raja sudah memiliki enam isteri, tapi tak ada alasan untuk menolaknya, Apa’.” 

“Apa tak ada pemuda lain yang memberati hatimu?” 

Putri teringat pada pertemuannya dengan seorang bocah laki-laki di hutan dulu. Memang sampai sekarang, kadang-kadang ia masih memikirkannya. Tapi ia tak tahu siapa bocah itu. Tahu namanya juga tidak. Bocah laki-laki pemberani itu seperti roh gaib yang tiba-tiba datang menemuinya. Lalu lenyap begitu saja. Dan meyakinkan Putri untuk berkata, “Tidak ada pemuda lain, Apa’.” “Baiklah. Kalau begitu akan kuterima lamarannya.”*** 

Pesta pernikahan pun di gelar di Kerajaan Landak. Raja dan Putri Tanjung Selimpat terlihat sangat bahagia. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara mereka. 

Ketika waktu tenang setelah benih tanaman sudah di sebar, Putri Tanjung Selimpat dikabarkan hamil. Namun sebuah prahara terjadi. Tanjung Selimpat di serang oleh Suku Biaju. Mereka mengincar kekayaan Patih Gumantar yang terkenal. Dan akhirnya, sang Patih gugur dikayau oleh mereka. 

Karena memercayai bahwa Kepala Patih memiliki kekuatan yang luar biasa, suku Biaju memasukkannya kedalam sebuah belanga yang disebut Tajau Tarus dan membawanya pulang. Mendengar kabar itu, bersedihlah hati Putri Tanjung Selimpat. 

Raja yang prihatin mencoba menghiburnya. 

“Bersediakah, Baginda mengambilkan kepala apa’ku kembali? Itu satu-satunya hal yang aku inginkan untuk mengubur rasa sedih.” 
“Akan kulakukan apa pun, Permaisuriku.” 
“Tapi lawan kita tak sembarangan orang, Baginda. Buatlah sebuah jong untuk membawa pasukanmu.” 

Baginda mengangguk. Ia segera bergegas. 

Untuk membuat sebuah jong, ia memerlukan kayu yang kuat. Maka keesokan harinya, Raja mengerahkan orang-orang untuk menebang pohon malibo di hutan. Pohon itu berkayu kuat dan sangat sesuai untuk membuat jong. Pekerjaan itu tak selesai dalam sehari. Maka keesokan harinya, ia dan orang-orangnya kembali lagi ke sana. Betapa terkejutnya mereka melihat pohon yang mereka tebang telah utuh kembali. 

Mereka mencoba lagi. Tapi keesokan harinya, kejadian yang sama berulang lagi. Ternyata pohon itu angker dan memiliki sebuah kekuatan gaib tak terlihat. Kemudian seorang penasehat mengatakan bahwa ada seorang pemuda bernama Ria Sinir yang memiliki kesaktian, karunia dari Jubata. Raja lantas memanggil pemuda sakti itu untuk membantunya. Benar saja, setelah ditebang oleh Ria Sinir, pohon berkekuatan sihir itu tak kembali utuh. Tugas Ria Sinir selesai, Raja memberinya upah beberapa keping emas. Saat itulah Ria Sinir melihat Permaisuri. Dan ia sadar, kalau Permaisuri adalah gadis kecil dari Tanjung Selimpat yang dulu mencuri hatinya. Ia semakin terpukau melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Diam-diam Ria Sinir berdoa agar Permaisuri bisa menjadi isterinya. ***

Beberapa hari kemudian, jong selesai dibuat. Tapi Raja dan orang-orangnya kesulitan meluncurkan perahu itu ke sungai. 

Raja Pulang Pali kembali memanggil Ria Sinir. Namun pemuda itu memiliki syarat. Raja harus menyediakan tujuh orang perempuan yang mengandung anak sulung, yang usia kandungannya sudah tua. Serta tujuh butir telur ayam dari induk yang baru pertama kali bertelur. Demi Permaisuri, Raja menuruti permintaan Ria sinir yang aneh dan lumayan sulit dipenuhi. 

Ketujuh perempuan hamil dan telur ayam itu berbaring berjajar di atas tanah yang akan dilewati jong. Raja sempat khawatir karena takut nyawa tujuh perempuan itu akan terenggut. Tapi dengan ajaib, jong meluncur melewati tujuh perempuan hamil tanpa melukai mereka dan melewati telur ayam tanpa memecahnya. Tujuh perempuan itu malah merasa lebih bugar setelah kejadian. Dan tujuh butir telur dieramkan kembali pada induknya, lalu lahir tujuh ekor ayam jago yang pandai berkokok. 

Karena terkagum akan kemampuannya, Raja akhirnya mengutus Ria Sinir untuk memimpin pasukan yang akan mengambil kepala Patih Gumantar. Sebagai imbalan, jika ia berhasil, Raja rela menyerahkan salah satu isterinya untuk menjadi isteri Ria Sinir. 

Ria Sinir menyanggupi, tapi ia meminta bekal perlengkapan perang dan sekantung mata uang serta lempeng-lempeng logam emas dan perak. 

Saat malam, Ria Sinir dan pasukannya sampai di tepi sungai dekat Kerajaan Suku Biaju. Dengan kesaktianya, ia bisa melihat bagaimana letak bangunan kerajaan itu dan dimana mereka menyimpan kepala Patih. 

Ternyata Tajau Tarus tempat penyimpanannya dijaga ketat. Tapi Ria Sinir sudah menyiapkan rencana. Malam hari, ia dan anak buahnya menyelinap ke kampung. Mereka menyebarkan keping uang dan logam mulia di sekeliling sumur tempat penduduk menimba air. Mereka juga menggantung dan menyebar uang di bawah pohon beracun yang memagari istana. Pohon-pohon itu juga berdekatan dengan sungai yang digunakan penduduk untuk mencari ikan. 

Siasat Ria Sinir berjalan lancar. Keesokan pagi, rakyat yang menimba air dikejutkan dengan uang yang berserakan. Ia mengabarkan pada yang lain. Semua orang lantas menuju sumur dan menebangi pohon beracun demi mengambil keping emas. Pohon itu jatuh ke sungai hingga membuat ikan-ikan keracunan dan mengambang di permukaan. Warga semakin heboh memanen ikan-ikan itu. 

Karena penjagaan yang berkurang, Ria Sinir bisa menembus pagar istana dan dengan cepat mengambil peti penyimpan kepala Patih Gumantar. Ia kembali ke dalam jong dan menitahkan agar pasukannya mendayung secepat mungkin tanpa henti. 

Di Istana Landak, Raja dan Permaisuri yang mendengar kabar itu menjadi sangat bahagia. Tapi mereka juga dirundung duka karena ikrar Raja yang akan menyerahkan salah satu isterinya pada Ria Sinir. Permaisuri yang sudah mencintai Raja, turut prihatin. Akhirnya ia bersedia di dandani layaknya dayang yang jelek diolesi abu dapur. Dari sinilah ia mulai disebut Dara Itam. Sedangkan keenam isteri Raja yang lain didandani sangat cantik. 

Akhirnya saat itu tiba. Semua rakyat berkumpul di balai pertemuan untuk menyaksikan peristiwa itu. Ria Sinir memepersembahkan kepala Patih Gumantar pada Raja. Lalu Raja pun memenuhi janjinya. Ria Sinir boleh memilih salah satu isterinya untuk di bawa pulang. Ria Sinir tak melihat Putri Tanjung Selimpat di antara keenam isteri raja. Ia menduga kalau Sang Putri disembunyikan. Maka ia mengeluarkan seekor kunang-kunang dari dalam daun sirih yang ia bawa, “Isteri Baginda yang dihinggapi kunang-kunang inilah yang akan ikut dengan saya.” 

Antara lega dan tidak, Raja menanti dengan cemas. Ternyata hal itu memang terjadi. Kunang-kunang hinggap di atas hidung Dara Itam. Perempuan itu meneteskan airmatanya. Berat rasanya memenuhi keadaan ini. Ia terlanjur mencintai Raja Pulang Pali. Tapi ia juga kagum terhadap ketangkasan Ria Sinir yang telah merebut kembali kepala ayahnya. Raja menghela napas. Ia membesarkan hatinya lalu berkata, “Aku mohon maaf telah menyembunyikan salah satu isteriku. Tapi ternyata, aku tak bisa mencegah takdir. Telah menjadi hakmu, Tuan. Bawalah Permaisuri yang sangat kucintai ini bersamamu.” 

Suasana menjadi gaduh. Masyarakat memiliki pendapat yang berbeda. Yang satu mengagumi kebijaksanaan Raja yang telah memenuhi janjinya. Meskipun hal itu melukai hatinya sendiri. Mereka juga tak rela jika raja harus berpisah dengan cintanya. Sementara sebagian yang lain membela keberanian Ria Sinir yang mampu memenuhi permintaan Permaisuri. 

“Ne Dara Itam. Kalau kau masih ingat, aku adalah bocah laki-laki yang sembuh dari penyakit karena burung enggang piaraanmu.” 

Dara Itam tampak terkejut. 

“Jubata telah menasibkan kita untuk bersatu. Bagaimana pun caranya.” 

Kemudian, siang itu menjadi hari paling mengharukan. Rakyat mengiringi kepergian Permaisuri yang mereka cintai. Raja Pulang Pali menyerahkan pula sebagian dari wilayah kerajaan Landak untuk dipimpin Ria Sinir dan Dara Itam. Ia juga tak melarang rakyatnya yang ingin ikut dengan mereka. 

Sebelum mereka pergi, raja memberikan amanat bahwa Ria Sinir dan Putri Tanjung Selimpat hanya boleh menikah setelah bayi yang dikandungnya lahir. Bayi itu akan menjadi anak Raja. Lalu kemudian dinamai Raden Ismahayana. 

Beberapa waktu setelah anak itu lahir, Ria Sinir dan Dara Itam melangsungkan pernikahan. Lalu mereka melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ria Tanu. 

Raja Pulang Pali yang baik lantas menyatukan keduanya menjadi saudara. Agar tak ada perpecahan di antara masyarakat. Mereka pun hidup aman dan tenteram dengan menghormati satu sama lain.*** 

sumpit = senjata tiup suku Dayak 
abat = semak belukar yang lebat 
Jubata = Tuhan Yang Maha Kuasa 
ao’ = iya 
apa’ = bapak/ ayah 
jong = perahu yang bisa mengangkut banyak orang 
sape = alat musik petik tradisional Dayak. Terbuat dari batang pohon yang dilubangi belakangnya. Dawainya biasa terbuat dari rotan.

Cerita ini telah diikutkan lomba penulian cerita rakyat yang belum banyak dikenal, namun belum berhasil mendapatkan tempat juara. Kisah ini berasal dari daerah Kalimantan Barat. Saya sangat tertarik dengan pesona heroik dan romantika dalam cerita ini. Karena itu, saya mengambilnya dan menuliskannya kembali dalam bentuk cerpen.
Read More




Kamis, 04 Juni 2015

Aamiin

Hari ini bukan hari ulang tahunku. Tapi, sebuah resolusi tak harus dibuat saat menjelang hari ulang tahun atau ketika tahun baru akan datang. Akhirnya aku menemukan sebuah misi untuk membuat Blog Puput Nofia, setidaknya aktif. Aku akan menulis segala hal tentang keindahan Indonesia. Aku juga ingin berbagi tips menulis. Dan berjuang bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki impian untuk menerbitkan sebuah buku yang bermanfaat bagi umat. Dunia Maya, setelah kutekan enter untuk menerbitkan celoteh ini, aku harap Tuhan bersedia membantuku menjalankan misi ini. Aamiin.


#Jika kau menginginkan sesuatu, maka segenap alam semesta akan bersinergi, membantumu meraihnya. (Sang Alkemis--Paulo Coelho)
Read More




Selasa, 12 Mei 2015

Sampah Kata-kata untuk Elta #2

20 januari 2015


Mungkin sosok orang yang kudambakan, sebagian besar ada padamu. Tapi aku sadari, pujaanmu adalah seorang bidadari. Cantik rupawan lahir dan batin. Meskipun cintamu padanya tertolak, bukan berarti sosoknya lantas hilang begitu saja. Aku yakin kau masih menginginkannya. Apalah aku? Hanya seonggok perdu yang berlindung di balik pohon minder. Aku tak tahu bagaimana kau memerlakukan teman perempuanmu yang lain. Hanya saja, mungkin saat ini, posisi kita yang seperti ini. Sudah cukup. Setidaknya sebuah bingkai yang melindungi rupamu telah tercipta dalam sudut hati. Aku masih jatuh hati padamu.


Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML